Pantaskah Perempuan Menjadi Pemimpin?

pemimpin perempuan

Modernis.co, Jateng – Ada banyak polemik yang muncul akibat perbedaan pendapat mengenai “ Siapa yang pantas menjadi pemimpin” Feminisme ataukah Maskulin? Apakah dengan berdasarkan Gender kita dapat memutuskan siapa yang layak menjadi pemimpin?

Banyak pandangan masyarakat yang tidak setuju dengan adanya pemimpin perempuan karena dianggap mendahului peran laki-laki. Diakui atau tidak, layaknya domain yang disediakan oleh fiqih politik, misalnya lembaga politik seperti Imamah, perwakilan, kementerian tampaknya lebih akrab dengan aktivitas laki-laki dibandingkan dengan aktivitas perempuan.

Persoalannya tidak sekedar mempertanyakan kembali boleh dan tidaknya perempuan menjadi imam (pemimpin), tetapi bagaimana konsepsi fikih dalam memandang peran politik perempuan secara umum.

Secara sederhana, kepemimpinan memiliki definisi kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Hal ini mengandung makna bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tunduk atau mengikuti semua keinginan seorang pemimpin (Makawimbang, 2012).

Jadi, siapa saja berhak menjadi seorang pemimpin asalkan dia mempunyai jiwa pemimpin. Adapun analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang dikenal dengan “The Greatman Theory”.

Dalam perkembangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat-sifat itu antara lain: sifat fisik, sifat mental, dan kepribadian.

Menurut Prof. Hendyat Soetopo, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki kemampuan kepribadian dan penguasaan ofisial di bidang kepemimpinan. Yang dimaksud dengan ofisial misalnya menguasai tugas, deskripsi,pekerjaan yang dimiliki, dan pemahaman pada anak buah.

Selain itu, pemimpin juga harus memiliki sifat sifat kepemimpinan yang baik, karena sifat kepemimpinan tersebut merupakan sebuah kepribadian. Sifat-sifat pemimpin yang dibutuhkan misalnya ‘Kreatif’, ‘Futuristik’, ‘Tangguh’ , ‘Humoris’, dan ‘ Dermawan’. Jadi, siapa saja punya peluang menjadi seorang pemimpin.

Di Indonesia sendiri para pemimpin yang berasal dari kaum wanita dirasa minim berdasarkan data yang diterima oleh Kompas.com, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perempuan hanya 97 orang dari total 560 anggota DPR di Indonesia.

Ini berarti hanya mencapai 17% dari 30% yang tersedia menurut UU No. 2 Tahun 2008 yang memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan tingkat pusat .

Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

Dari data di atas menunjukan bahwa partisipasi perempuan dalam pemerintahan masih minim, hal ini dikarenakan adanya keyakinan bahwa yang dapat memimpin hanyalah kaum lelaki.

Seperti yang kita tahu bahwa banyak yang berpendapat bahwa yang seharusnya menjadi pemimpin itu adalah seorang laki-laki dikarenakan laki-laki merupakan seorang pemimpin dari perempuan seperti yang terterah dalam Q.S An-Nisa (4) ;34].

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

Mengenai hal ini Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa setiap perempuan berhak untuk duduk dalam sebuah kepemimpinan di wilayah publik. Hal ini didasarkan pada pemaknaan surat at-Taubah ayat 71, bahwa Allah menetapkan bagi perempuan beriman hak mutlak memerintah sebagaimana laki-laki, termasuk di dalamnya memerintah dalam urusan politik atau untuk kepentingan publik.

Sedangkan ada hadis yang menjelaskan tentang pemimpin atas seluruh penduduk sebuah negeri, atau jabatan kepala negara sebagaimana dapat dipahami dari kata-kata “amrahum”  (urusan mereka), maksudnya adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan penduduk.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perempuan boleh menerima jabatan sebagai pemimpin atau memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan, administrasi dan sejenisnya. (al-Qaradhawi, hal. 529-530)

Dan jika kita melihat beberapa contoh pemimpin wanita yang membawa perubahan yaitu Indira Gandhi perdana menteri wanita pertama di India ini berhasil membawa perdamaian di India. Walaupun kontroversial kepemimpinan Indira Gandhi banyak membawa perubahan, salah satunya adalah memerangi kelaparan di India.

Kelaparan kronis yang dulu sempat terjadi ini diperangi dengan cara memperkenalkan bibit unggul kepada para petani. Selain itu di masa pemerintahan Indira Gandhi, India juga mulai ikut mengembangkan teknologi nuklir.

Dan juga Kanselir Jerman yang mulai menjabat tahun 2005 ini sudah sembilan kali dinobatkan sebagai pemimpin perempuan paling berkuasa di dunia. Menjabat sebagai kanselir Jerman Angela Merkel memang punya sepak terjang yang luar biasa di dunia politik. Ia bahkan disegani lawan-lawan politiknya. Hal ini membuktikan bahwa perempuan pantas menjadi seorang pemimpin.

Kesimpulannya adalah, laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Hanya saja, keterlibatan seorang perempuan dalam ranah publik menjadi pemimpin, misalnya terlebih dahulu harus memperhatikan dan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Misalnya mengatur urusan rumah tangga, karena bagaimanapun juga wanita dibebani kewajiban untuk memelihara harta suaminya yang juga mencakup urusan rumah tangga, memperhatikan pendidikan anak (meskipun hal ini merupakan kewajiban suami-istri).

Hal-hal di atas perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekacauan dalam rumah tangga yang merupakan pondasi utama untuk membangun sebuah peradaban madani.

Oleh: Alfrisa Renuat  (Aktivis IMM Adam Malik Universitas Muhammadiyah Surakarta)




Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment